Periode Kemunduran Mazhab Syafi’i (1004 – 1335 H)

Periode ini berlangsung pada masa Kekhalifahan Ustmaniyah berkuasa di negara-negara Arab. Periode ini lebih panjang dari periode-periode sebelumnya, yaitu lebih dari tiga abad, dan berakhir bersamaan dengan bebasnya negara-negara Arab dari Kekhalifahan Ustmaniyah sekitar tahun 1335 H.

Kesultanan Utsmaniyah mengadopsi mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi dalam fatwa dan peradilan, sehingga menyebabkan kemunduran gerakan keilmuan mazhab lain, termasuk mazhab Syafi’i. Mazhab Syafi’i terus bertahan karena adanya sejumlah fuqaha Syafi’iyah yang menjabat sebagai Grand Syekh Al-Azhar . Dan karena kehadiran sejumlah besar fuqaha syafi’i di dua tanah haram(mekah dan madinah), beberapa di antaranya menjadi mufti dan Ulama besar disana. Serta ketersediaan dana abadi (waqaf) yang dikhususkan kepada pelajar mazhab Syafi’i di negara-negara

Syam dan di dua tanah Suci (haramain) yang berkontribusi pada kelanjutan proses pengajaran mazhab Syafi’i.

Pada era ini mazhab Syafi’i menghilang di Persia karena berdirinya negara Safawi , dan melemah di Transoxiana karena perang dan ketidakstabilan Politik.

Lahirnya Metode Hasyiah

Pada zaman ini muncul metode penyusunan kitab baru yang disebut tahsyiah (penulisan hasyiah). Tahsyiah adalah metode penulisan kitab dengan mengumpulkan catatan yang didiktekan guru kepada pelajar, komentar dan ulasan (ta’liqat) guru terhadap lafaz syarah, masalah yang kurang jelas (Musykilah), dan pertanyaan-pertanyaan para pelajar.

(Penjelasan lebih lengkap tentang hasyiah pada hal 331, kitab al muktamad.) 

Para penulis Hasyiah terkadang dalam beberapa persoalan mengunggulkan (mentarjih) pendapat yang tidak mu’tamad dalam mazhab, dan terkadang memilih pendapat mazhab lain. Karena adanya urgensi (hajat), kemaslahatan, atau karena uzur. Al-‘Allamah Muhammad bin Suleiman Al-Kurdi dan Al-Ustaz Faisal Al-Khatib dalam kitab beliau menyebutkan banyak sekali ijtihad-ijtihad ulama mutaakhirin yang menyelisihi pendapat mu’tamad dalam mazhab.

Metode ini tidak menunjukkan pada jumud (sikap tertutup,kaku, tidak mau berubah atau enggan mengapresiasi pemikiran baru) dan kelemahan secara mazhab atau manhaj sebagaimana yang di digambarkan oleh Dr. Al-Qawasimi (Al-Madkhal ila Al-Mazhab Al-Imam Imam Syafi’i, hal. 439) dan peneliti lain. Tetapi metode ini adalah metode yang sesuai untuk kondisi pelajar pada masa itu. Pada masa itu ensiklopedia fiqih telah disusun dan telah banyak ditulis syarah kitab fiqih yang memerlukan penjelasan dan penyempurnaan, maka hasyiah ini merupakan perantara untuk memahami syarah-syarah yang sulit (mughallaqat) dan tangga Untuk mengakses kitab-kitab lebih tinggi (muthawwalat).

Fokus pada fikih ibadah:

Tercatat bahwa para penulis hasyiah terkonsentrasi di Mesir dan Hijaz. Menandakan adanya aktivitas gerakan belajar-mengajar di Al-Azhar dan di Haramai. penulisan hasyiah lebih fokus pada bab-bab ibadah dari pada mua’malat. Akibat dari kurangnya penerapan mazhab Syafi’i dalam praktik, ulama Syafi’iyyah mungkin merasa kurang termotivasi untuk menulis secara mendalam tentang muamalah. Karena Utsmaniyah menggunakan mazhab Hanafi dalam peradilan.

Tercatat juga bahwa para penulis hasyiah mengeluarkan banyak hukum dari nash-nash mazhab dengan pengembangan masalah-masalah baru yang muncul pada masa itu.

Kitab Tuhfat al-Muhtaj dan Nihayat al-Muhtaj

Kitab Tuhfat al-Muhtaj karya Imam Ibnu Hajar dan Nihayat al-Muhtaj karya Imam al-Ramli menjadi rujukan utama untuk mengetahui qaul mu’tamad bagi fatwa

Manhaj fikih para ulama pada masa itu adalah beramal sesuai dengan pendapat mu’tamad yang ditetapkan dalam kitab-kitab murid-murid Syekhul Islam Zakaria al-Anshari, khususnya kitab Tuhfat al-Muhtaj karya imam Ibnu Hajar dan Nihayat al- Muhtaj imam al-Ramli.

Para ulama Mesir mengedepankan Nihayat al-Muhtaj dalam fatwanya, sedangkan para ulama dari Syam, Yaman, dan Dagestan mengutamakan Tuhfat al-Muhtaj. Sedangkan ulama Hijaz pada awalnya mereka mengutamakan pendapat imam ibnu Hajar, hingga mereka berbaur dengan ulama-ulama Mesir, dan mulai menerima pendapat imam Ibnu Hajar dan imam al-Ramli tanpa tarjih, hingga ada ungkapan dari mareka yang melarang dikeluarkannya fatwa selain dari kedua kitab tersebut.

Al-‘Allamah Muhammad Saeed Sunbul berkata:

اعلم أن أئمة المذهب قد اتفقوا على أن المعول عليه والمأخوذ به كلام الشيخ ابن حجر والرملي في «التحفة» و«النهاية» إذا اتفقا، فإن اختلفا فيجوز للمفتي الأخذ بأحدهما على سبيل التخيير

“Ketahuilah bahwa para imam mazhab telah sepakat bahwa yang dijadikan sandaran dan diambil adalah perkataan Syekh Ibnu Hajar dan Al-Ramli dalam “Al-Tuhfah” dan “Al-Nihayah” jika kedua sepakat. Jika mereka tidak sepakat, maka diperbolehkan bagi mufti untuk mengambil salah satu dari mereka sebagai pilihan


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.