Fase penyeleksian dan otentikasi mazhab Syafi’i (505-676 H).

Fase ini ditandai dengan kembalinya mazhab Syafi’i ke Mesir dan Syam, dan dukungan dari Daulah Ayyubiyah. Hal ini tidak terlepas dari peran dan jasa Sultan Salahuddin al-Ayyubi (wafat 589 H) yang bermazhab Syafi’i. Dedikasi Sultan Salahuddin al-Ayyubi pada mazhab Syafi’i tidak jauh beda dengan pendahulunya, wazir Nizam al-Mulk dari dinasti Saljuq. Beliau menghidupkan kembali manhaj Sunni di Mesir dan Syam, mengangkat para fuqaha Syafi’i sebagai hakim, dan membangun banyak madrasah untuk mengajarkan fikih Syafi’i, terutama setelah mazhab Syafi’i mengalami kemunduran di Transoxania Karena kelemahan Daulah Seljuk, dan karena invasi brutal Mongol di di Persia.

Ulama terfokus pada tahrir pendapat imam Syafi’i dan wujuh Ashab serta mentarjih wajh ashab

Munculnya kebutuhan untuk men tanqih mazhab dari pendapat yang lemah dan tidak valid, serta tahrir pendapat mu’tamad. Karena banyaknya kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama Syafi’iyah pada masa-masa sebelumnya, dan luasnya wilayah geografis, menyebabkan sulitnya komunikasi antar Para penulisnya, dan fakta bahwa kitab-kitab tersebut mengandung sejumlah qaul yang mungkin bertentangan dengan ushul mazhab, dan karena adopsi mazhab Syafi’i oleh daulah Ayyubiyah, dan munculnya kebutuhan untuk Menyelenggarakan lembaga fatwa dan peradilan; Untuk mempersempit lingkaran perselisihan dalam satu mazhab.

Sejumlah imam terkemuka muncul melakukan tahrir mazhab dan men tarjih antara qaul-qaul dan wujuh, dan tugas ini memerlukan peninjauan kembali kitab-kitab mazhab selama empat abad, dan yang terbaik yang melaksanakan tugas ini adalah dua imam: Al-Rafi’ dan Al-Nawawi, yang rujukan utama ulama Syafi’i setelah mereka, dan era ini dianggap sebagai tahapan terpenting yang dilalui mazhab. Dimana kitab-kitab Al-Rafi’ dan Al-Nawawi menjadi rujukan dalam fatwa-fatwa, pengajaran, penulisan, ikhtishar, dan tahzib yang berujung pada berpaling dari kitab-kitab yang disusun sebelumnya, dan peranan kitab-kitab terdahulu itu hanya sebatas perluasan, pengkajian, dan penelitian saja, tidak lagi bersifat total dalam rujukan untuk memperjelas pendapat muktamad dalam Mazhab.

Perbedaan Imam Al-Rafi’i dan Al-Nawawi dalam tahrir mazhab

Imam Al-Rafi’i sangat hati-hati dalam periwayatan; beliau tidak akan menisbatkan kata-kata kepada siapa pun kecuali beliau menemukannya dalam kalam orang tersebut, sebagaimana beliau sangat hati-hati dalam men-tarjih. Namun, Al-Rafi’i tidak menetapkan istilah khusus untuk tarjih.

Adapun Imam Al-Nawawi, usahanya terfokus pada tahrir dan tanqih kitab-kitab fiqih mu’tamad dalam pembelajaran dan fatwa pada masanya, hingga beliau pantas menyandang gelar “Muharrir Al-mazhab”. Karena usaha keras yang dilakukannya dalam tahrir dan tanqih mazhab secara komprehensif, beliaulah yang menetapkan istilah-istilah yang detil untuk tarjih antara qaul-qaul dan wajh-wajh, serta membedakan tingkatan kuat-lemah khilafiyah.

Alasan ulama mutaqaddimin tidak melakukan tarjih

Imam Taj al-Din al-Subki (w. 771) berkata dalam Al-Tarsyih:

 اعلم أن المتقدمين لم يكن شوقهم إلىالترجيح في الخلاف، ولا اعتنوا ببيان الصحيح، وسبب ذلك أن العلم كان كثيرًا، وكان كُل عند الفتيا يفتي بما يؤدي إليه نظره، وقد يؤدي نظره اليوم إلى خلاف ما أدى إليه أمس، فما كان الأمر عنده مستقرا على شيء لتضلعهم بالعلم، فمن ثم ما كان المصنفون يلتفتون إلى تصحيحاتهم، بل يشتغلون عن الترجيح بذكر المآخذ وفتح أبواب الاستنباط والمباحث من غير اعتناء بما هو الأرجح، إنما كل ينظر لنفسه، فلما قل العلم وأشرف على التبدد واحتيج إلى ضرب من التقليد، وأن الفقيه يتبع من هو أفقه منه وإن تشاركا في أصل النظر اعتني بالراجح... ولم يزالوا كذلك حتى ظهر كتاب الرافعي، ثم زاد عليه النووي زيادة جيدة، وكان قصدهما رحمهما الله إرشاد الخلق، والإتيان بما يناسب الزمان.

إن قصور الناس عن العلم أوجب أن يقيم الله تعالى من يُبين لهم الراجح ليقفوا عنده فأقام الرافعي والنووي، وما في المتأخرين - إن شاء الله - أفقه منهم، وكان شوق النووي إلى الترجيح أكثر من شوقه إلى التفقه والتخريج، وشوق الرافعي إليهما جميعًا، لكن الغالب عليه شوقه إلى الترجيح

(“Ketahuilah, bahwa para mutaqaddimin tidak ingin melakukan tarjih pada masalah khilafiyah, dan mereka juga tidak menganggap penting untuk menjelaskan pendapat yang shahih. Sebabnya karena banyaknya ilmu, dan setiap orang mengeluarkan fatwa berdasarkan apa yang menjadi pertimbangannya, dan pertimbangannya hari ini mungkin akan berlawanan dengan yang kemarin, jadi hal tersebut disisi mereka tidak tetap karena pengetahuan mereka yang luas dan mendalam. Oleh karena itu, para musannif tidak memperhatikan kepada menerangkan pendapat mana yang shahih, tetapi menyibukkan diri dengan men-tarjih dengan cara menyebut sumber, dan membuka pintu-pintu istinbath dan penyelidikan, tanpa memperhatikan pendapat mana yang paling rajih, karena semua orang dapat mencarinya sendiri. Sehingga ketika ilmu pengetahuan berkurang dan mulai menghilang dan diperlukan semacam taqlid, dan ahli fikih mengikuti ahli fikih yang lebih berilmu darinya, walaupun mereka berkerja sama dalam nazhar, ketika itu perlu diperhatikan mana pendapat yang rajih... Mereka terus seperti itu sampai muncul kitab Al-Rafi’i, kemudian Al-Nawawi menambahkan tambahan yang bagus di dalamnya. Tujuan mereka – semoga Tuhan mengasihani mereka – adalah untuk memberi petunjuk kepada manusia dan untuk mewujudkan apa yang sesuai dengan zaman.”)

Minimnya ilmu pengetahuan masyarakat mengharuskan Allah SWT menetapkan seseorang yang dapat menjelaskan kepada mereka mana pendapat yang rajih agar mereka dapat mentaatinya. Maka ditetapkanlah Al-Rafi’i dan Al-Nawawi, – tidak ada dari golongan mutaakhirin– Insya Allah – yang lebih ahli fiqih dari mereka berdua – perhatian Al-Nawawi terhadap tarjih lebih besar melebihi perhatiannya terhadap tafaqquh dan takhrij, dan perhatian Al-Raa’i kepada kedua-duanya sekaligus, namun dominannya kepada tarjih”

Sebab-sebab yang mendorong dilakukannya tahrir

Berdasarkan uraian tersebut, maka alasan-alasan yang mendasari upaya syekhani dalam tahrir dan tanqih mazhab dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tersebarnya mazhab Syafi’i, serta banyaknya qaul dan takhrij dalam Mazhab.

2. Pada periode ini perlu dilakukan tahrir dan tanqih mazhab; Karena kurangnya pengetahuan sebagian besar masyarakat dan maraknya taqlid.

3. Kepedulian Al-Rafi’i dan Al-Nawawi kepada tarjih antara Aqwal Imam Syafi’i dan wujuh Ashab lebih dari kepeduliannya pada takhrij dan ijtihad.

Imam Shihab al-Din al-Ramli berkata:

«من المعلوم أن الشيخين رحمهما الله قد اجتهدا في تحرير المذهب غاية الاجتهاد ؛ ولهذا كانت عنايات العلماء العاملين، وإشارات من سبقنا من الأئمة المحققين متوجهة إلى تحقيق ما عليه الشيخان والأخذ بما صححاه

 “Diketahui bahwa kedua syekh, –semoga Tuhan mengasihani mereka – telah berijtihad (bekerja sangat keras) dengan ijtihad paling maksimal untuk men-tahrir mazhab. Oleh karena itu, perhatian para ulama yang mengamalkan (ilmu mereka), dan isyarat para Imam muhaqqiqin yang mendahului kita, terarah pada mentahqiq apa yang telah dicapai syaikhani dan mengambil apa yang mereka berdua sahihkan” ( ).

4. Kemahiran Al-Rafi’i dan Al-Nawawi dalam men-tahqiq mazhab dan memahami secara luas dan mendalam nash-nash Imam Imam Syafi’i dan wajah para ashab.

Al-Muhazzab” dan “Al-Wasith,” menjadi pegangan ulama

para ulama mazhab berpegang pada kitab-kitab Imam Al-Syirazi dan Al-Ghazali. Imam Al-Nawawi berkata: Para sahabat kami yang merupakan para mushannif – semoga Allah meridhoi mereka semua dan semua ulama Muslim – menghasilkan banyak karya dan bervariasi sebagai kami telah paparkan dan kami sebutkan, dan beberapa di antaranya yang terkenal untuk materi pengajaran dan pengkajian adalah : “Al-Muhazzab” dan “Al-Wasith,” yang merupakan Dua kitab hebat yang ditulis oleh dua imam yang mulia, yaitu: Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al-Syirazi, dan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, semoga Tuhan meridhoi mereka berdua.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.