Cerpen: Semut Yang Memohon Hujan

Foto: Viva.co.id

Pada suatu zaman dahulu, di sebuah desa terpencil, kekeringan melanda. Matahari terik menyengat, dan udara panas terasa menyengat setiap langkah kaki. Tanah yang biasanya subur kini retak, daun-daun pohon layu, dan sumur-sumur mulai mengering. Hujan tak pernah datang selama berbulan-bulan. Desa itu seolah mati, dan penduduknya semakin cemas akan nasib yang menanti."apakah hanya akan terus seperti ini?, aku harus melakukan sesuatu!" bisikan hati seorang pemuda bernama Zaid merasa terpanggil untuk memimpin masyarakat kampungnya keluar dari kebuntuan. Zaid hanyalah masyarakat biasa. Usianya muda, namun semangatnya membara. Ia tahu bahwa kekeringan yang melanda bukan sekadar fenomena alam biasa, melainkan ujian dari Allah atas dosa-dosa yang dilakukan penduduk kampung itu.

Suatu pagi yang panas, Zaid berkumpul dengan penduduk desa di balai desa. Ia berdiri di depan mereka, wajahnya serius namun penuh harap.

"Apa yang telah kita perbuat, saudara-saudara? Tanah ini mengering, air kita habis. apa yang telah kita lakukan sehingga pencipta alam semesta menghukum kita seperti ini. Kita telah melupakan tuhan  dalam kesenangan kita," kata Zaid dengan suara yang menggema. "Inilah saatnya kita kembali pada-Nya, bertaubat dengan tulus. Kita akan berpuasa selama empat hari untuk menebus semua kesalahan kita dan berdoa, memohon hujan. tuhan kita Maha Penyayang, Dia akan mendengarkan kita jika kita sungguh-sungguh."

Seorang ibu di barisan depan, dengan wajah yang tampak lelah dan cemas, bertanya, "Tapi, Zaid... apakah itu akan cukup? Kami sudah mencoba segala cara, tapi hujan tetap tak datang."

Zaid menatap ibu itu dengan lembut. "Kita hanya perlu berusaha dan berserah pada tuhan, ibu. Dia Maha Pengasih, dan Dia tahu apa yang terbaik bagi kita."

Pada hari pertama puasa, Zaid dan seluruh penduduk desa merasakan kelaparan yang menggerogoti tubuh mereka. Namun, ada sesuatu yang lebih menggetarkan: ketakutan akan masa depan yang semakin suram. Semua orang merasa kehilangan harapan. Namun, Zaid tetap teguh. Ia tahu, inilah jalan yang harus ditempuh.

Empat hari berlalu. Tanpa ada tanda-tanda hujan yang datang, Zaid mengumpulkan semua penduduk di lapangan terbuka. Mereka berkumpul dalam barisan, mengenakan pakaian lusuh, tubuh mereka lelah dan kurus akibat puasa. Namun, mata mereka penuh harapan.

"Saudaraku, mari kita sholat menyembah tuhan bersama. Semoga tuhan mendengarkan permohonan kita. Semoga Dia menurunkan hujan, menyirami bumi ini, dan memberi kehidupan kembali pada kita."

Namun, setelah shalat usai, langit tetap tampak cerah dan tak ada tanda-tanda hujan yang datang. Rasa kecewa mulai melanda hati para penduduk. Mereka merasa usaha mereka sia-sia. Zaid berdiri terdiam, wajahnya dipenuhi kebingungan dan rasa cemas.

Tiba-tiba, di sudut lapangan, Zaid melihat sesuatu yang aneh. Seekor semut kecil yang ikut datang ke lapangan, dengan tubuh ringkih, berdiri di atas tanah yang keras. Ia mengangkat kedua tangan kecilnya ke langit, seperti meminta kepada Tuhan. Mata Zaid terbuka lebar.

"Apa yang kau lakukan, semut?" gumam Zaid pelan.

Semut itu tetap berdiri, tak bergeming, seolah tidak peduli pada dunia sekitarnya. Perlahan, sebuah bayangan mendung mulai menggelayuti langit. Hujan, pertama-tama, hanya berupa rintik-rintik, namun semakin lama semakin deras. Zaid terpana, tatapannya tidak lepas dari semut itu yang masih mengangkat kedua tangannya, seolah menyambut rahmat dari Allah.

"Subhanallah," bisik Zaid, terharu. 

Hujan turun dengan deras, mengubah seluruh desa dalam sekejap. Tanah yang gersang mulai basah, air mengalir kembali ke sungai yang kering. Udara yang panas kini terasa sejuk, membawa kedamaian bagi setiap jiwa yang sebelumnya terhimpit rasa cemas.

Penduduk desa bersorak kegirangan. Mereka berlari ke luar rumah, merasakan tetesan hujan yang menyegarkan tubuh mereka. Namun, Zaid tetap berdiri di tempatnya, merenung.

"dosa apa yang telah kami lakukan hingga tuhan enggan menerima doa kami ?. kalau bukan karena semut itu, mungkin hujan tidak akan turun."

Zaid tersenyum, menatap langit yang kini penuh dengan awan-awan gelap yang menyirami bumi. "Terkadang, kita perlu melihat dengan mata hati, bukan hanya dengan mata fisik. Allah mendengarkan doa, sekecil apapun itu."

Malam itu, setelah hujan reda, Zaid berdiri di depan desa, memandang langit yang cerah kembali. Ia tahu, ujian belum berakhir. Namun, ia juga tahu bahwa selama umat-Nya berserah pada-Nya, segala hal mungkin terjadi.


**Selesai**


cerita ini terinspirasi dari haidst berikut:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (خرج سليمان عليه السلام يستقي، فرأى نملةً مستلقيَةً على ظهرها، رافعةً قوائمَها إلى السماء، تقول: اللهم، إنا خَلْقٌ مِن خلقِك، ليس بنا غنًى عن سُقيَاك، فقال لهم سليمان: ارجعوا؛ فقد سُقيتُم بدعوة غيركم)؛ رواه أحمد، وصحَّحه الحاكم 

Artinya, "Dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah SAW bercerita, ‘Nabi Sulaiman AS pernah melakukan ibadah istisqa, tetapi ia melihat seekor semut berposisi telentang dan mengangkat tangan dan kakinya sambil berdoa, ‘Ya Allah, kami adalah salah satu makhluk-Mu. Kami tidak dapat berlepas ketergantungan dari anugerah air-Mu.’ Menyaksikan ini, Nabi Sulaiman AS mengatakan kepada rakyatnya, ‘Mari kita pulang, kalian telah di(mintakan)anugerahkan air oleh doa makhluk hidup selain kalian,'" (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Imam Al-Hakim). 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.