Cerpen Islami : Ayah Izinkan Aku Bercadar..
Cadar… Satu kata yang dulu sempat membuat diriku takut untuk
mendekati orang-orang
yang memakainya. “Mungkin mereka jelek, makanya menutupi
wajahnya, atau mungkin dia mempunyai gigi taring seperti drakula ataukah
mungkin dia..begini..begini dan begitu”. Begitu banyak pikiran-pikiran yang menghantuiku
ketika masih menjadi orang yang belum tahu tentang syari’at Alloh tentang cadar
ini.
Sampai suatu ketika Alloh menakdirkanku untuk mengenal
sekumpulan akhwat yang bercadar, “subhanalloh” satu kata yang terlontar dari
lisanku waktu itu. Ternyata mereka tidak seperti yang aku pikirkan selama ini,
ternyata cadar merupakan salah satu syari’at dari islam.
Berawal dari perkenalanku dengan para akhwat, disitulah awal
mula diriku mengenal ilmu yang shohih, hari-hari kujalani dengan ilmu-ilmu yang
yang selama ini kuanggap hanya sebatas budaya dan pemikiran orang-orang belaka.
Sedikit demi sedikit kuamalkan ilmu yang telah kudapatkan, pergaulan antara
lawan jenis, musik, ikhtilath, sampai ke syarat-syarat jilbab yang syar’i pun
kulalui dan kuamalkan. Alhamdulillah, meski banyak rintangan dan cobaan dalam
mengamalkannya. Tapi begitulah perjuangan. Begitulah konsekuensi dari amalan
yang telah kita ilmui. Tapi untuk masalah cadar, ah, diriku sungguh tak
tertarik untuk menggunakannya.
Sempat mempelajari tentang hukum dari cadar dan waktu itu
berkeinginan untuk mempelajarinya lebih dalam, tapi teringat akan ucapan bapak,
“kamu boleh pakai jilbab yang besar tapi jangan sampai bercadar. Nanti boleh
bercadar kalau sudah nikah.” Ya sudahlah mendingan aku ambil hukum yang
sunnahnya saja, daripada bapak marah. Toh nanti kalau dah nikah aku akan pakai
cadar juga insya Alloh, untuk sekarang ga usahlah, pikirku dalam hati. Akhirnya
niat untuk mempelajari hukum cadar lebih lanjutpun aku urungkan.
“Astghfirulloh, apakah jilbab yang sudah cukup lebar ini
masih bisa saja menimbulkan fitnah bagi seorang laki-laki?”
Manusia boleh berencana tapi Alloh lah yang berhak
menentukan jalan hidup kita. Alhamdulillah, hidayah Alloh datang kepadaku, yang
awal mulanya diriku begitu kekeh untuk tidak bercadar, niat untuk mempelajari
hukumnya pun ogah-ogahan, namun Alloh menakdirkan padaku untuk lebih mengetahui
tentang cadar ini melalui sebuah fitnah yang kualami di kampus.
Seorang teman memberitahukan padaku bahwa ada seseorang yang
terfitnah gara-gara diriku. “Astghfirulloh, apakah jilbab yang sudah cukup
lebar ini masih bisa saja menimbulkan fitnah bagi seorang laki-laki?”
Airmatapun mulai mengalir, bukan karena terharu disebabkan ada orang yang
“ngefans” tapi karena merasa bahwa diri ini adalah sumber fitnah. Belum bisa
menyempurnakan hijab, tidak bisa menjaga diri, dll. Lama diriku merenung.
“Kenapa sampai ada yang terfitnah? Toh aku tak pernah berkomunikasi dengannya?
Jangankan berbicara, senyumpun tak pernah.” Apa yang menyebabkan semua
itu??Apa??? Wajah… Ya inilah sumber dari fitnah itu… Seketika itu pun diriku
bertekad dengan kuat untuk mempelajari hukum cadar, walaupun masih teringat
dengan kata-kata bapak, namun tak mengurungkan niatku untuk belajar..
Alhamdulillah, Alloh memudahkan jalanku untuk mempelajari
ilmu tentang cadar ini, mulai dari dukungan akhwat, cerita cerita akhwat yang
memberikan motivasi, buku-buku yang mereka pinjamkan, sampai ketika salah
seorang ustadzah dari Arab datang ke kota Serambi Madinahku buat memberikan
dirosah. Sampai suatu hari ketika sang ustadzah telah selesai memberikan
dirosahnya, kulihat dirinya sedang duduk untuk istirahat, aku pun mengajak
seorang kakak untuk menemaniku berbicara kepada ustadzah tentang masalah cadar
(karena ketidaktahuanku bercakap dalam bahasa arab, makanya minta tolong ke
akhwat buat jadi penerjemahnya. Syukron wa jazaakillahu khair buat kakak yang
membantu diriku saat itu.)

Ustadzah: “Kalau dia meyakini bahwa hukum cadar adalah wajib
maka apapun konsekuensi yang harus dia dapatkan sekalipun orangtua melarang
maka dia tetap harus memakainya, tapi ketika dia meyakini bahwa itu hanyalah
sunnah maka lebih baik dia mengikuti permintaan orang tuanya.” (Kira-kira
seperti itulah percakapan mereka kalau diterjemahkan dalam bahasa indonesia.)
Sampai suatu ketika keyakinanku mengatakan bahwa cadar itu
adalah sebuah kewajiban.
Hemm. Ternyata, point yang kudapatkan dari pernyataan
ustadzah adalah “ilmu sebelum berbuat”. Ya, aku harus mempelajarinya lagi lebih
dalam tentang cadar (waktu itu aku masih menganggapnya sebatas sunnah).
Hari-haripun kulalui dengan berusaha mencari tahu tentang hukum cadar. Mulai
dari bertanya ke ustadz, bertanya ke akhwat dan berbagai cara kutempuh untuk
mengetahui hukum sebenarnya dari cadar. Sampai suatu ketika keyakinanku
mengatakan bahwa cadar itu adalah sebuah kewajiban. Tapi bagaimana dengan
orangtua? Inilah ujianku selanjutnya. Aku harus berusaha memahamkan kepada
mereka sedikit. Akhirnya akupun berusaha menutupi wajah ini sedikit demi
sedikit, walaupun belum menggunakan cadar tapi wajah ini sering kututup dengan
jilbabku ketika ada seorang laki-laki ajnabi yang lewat dihadapanku. Dan ini
berlangsung sampai beberapa hari.
Suatu hari tiba-tiba keluargaku berkumpul di ruang keluarga,
bapakku tiba-tiba mengatakan padaku, “bapak ga mau lihat kamu pakai cadar.”
Tiba-tiba suasana di rumah menjadi tegang (ternyata selama ini bapak
memperhatikanku, karena begitu seringnya aku menutup wajahku dengan jilbab yang
kupakai, sampai beliau mengira bahwa aku telah bercadar waktu itu.) Bapak
dengan berbagai ucapannya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku mengatakan, “bapak ga
mau kamu pakai cadar!!!”
“Apapun alasannya, bapak ga mau kamu pakai cadar. Kalau
sampai pakai cadar, kamu jadi anak durhaka sama bapak!!!”
“Ga usah suruh temanmu kesini lagi, kalau ada temanmu yang
datang, bapak akan usir.”
Bla..bla..bla… Berbagai macam perkataan bapak pada diriku
saat itu.” Aku bisa paham terhadap ucapan bapak, karena memang beliau kurang
paham apalagi beliau jarang bermulazamah dengan ustadz-ustadz. Tapi yang
membuatku begitu sedih adalah ketika ibuku mendukung argumen bapak dan juga
ikut-ikutan memarahiku dan melarangku. Aku kaget, karena yang selama ini aku
tahu bahwa ibu mengenal beberapa ustadz dan teman-temanku yang bercadar.
Pikirku waktu itu, ibu mungkin setuju-setuju saja pada saat aku bercadar. Tapi
ternyata, ibuku pun melarang dan ikut-ikutan memboikotku.
Pada hari itu, bertepatan dengan perginya bapak kembali
berlayar, sebelum beliau berangkat beliau datang ke kamarku dan mendapati
diriku yang hanya bisa menangis tersedu-sedu dan mengatakan, “Ingat, bapak ga
mau kamu pakai cadar!!!” Ya Alloh, sekeras itukah hati bapak, sampai tidak mau
mendengarkan penjelasanku tentang cadar, pikirku dalam hati.
Teringat dengan kisah-kisah beberapa akhwat yang juga sempat
mengalami kejadian yang sama.
Hari pertama sejak peristiwa malam itu kulalui dengan
tangisan di kamar. Menangis, menangis, dan terus menangis. Satu hal yang
membuatku begitu sedih ketika melihat sikap ibuku padaku, dulu ketika ada
sebuah masalah yang kuperbuat di rumah hingga membuatku menangis tersedu-sedu.
Ibu biasanya langsung datang menghiburku dan mengatakan, “sudahlah nak, nda
usah menangis lagi.”
Tapi sekarang, seakan-akan beliau bukan ibuku, sikapnya yang
keras dan cuek saja melihat diriku menangis tetap tidak mengubah pendiriannya
untuk melarangku bercadar. Jangankan berbicara padaku, bahkan hanya sekedar
menyuruhku makan, beliau menyuruh adikku datang ke kamar. Yang bisa kulakukan
saat itu hanya menangis dan berdoa pada Alloh. Namun aku yakin bahwa ujian ini
akan segera berakhir, entah sehari, sepekan, sebulan, setahun bahkan
bertahun-tahun, ya pasti akan berkahir!! Teringat dengan kisah-kisah beberapa
akhwat yang juga sempat mengalami kejadian yang sama. Ada yang menyembunyikan
cadarnya hingga dua tahun lamanya. Ada yang hampir diusir oleh orang tuanya.
Ada yang cadarnya dibakar. Dan berbagai macam ujian yang dihadapi mereka. Namun
toh akhirnya orang tua mereka mengizinkan bahkan sekarang mendukung anaknya..
Hey, kamu baru diuji seperti ini, masa mau nyerah begitu
saja. Apa ga ingat gimana perjuangan Rosululloh dan para shahabatnya ketika
memperjuangkan islam??? Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diusir oleh
kaumnya sendiri, kaki beliau berdarah-darah karena dilempar batu. Para
shahabat, bahkan ada yang rela tidak diakui oleh ibunya sendiri. Dan kamu ingat
Sumayyah? Wanita syahidah pertama yang rela disiksa oleh orang-orang kafir
karena memeluk islam, hingga beliau menemui ajalnya. Sekarang lihat dirimu???
Kalau cobaan ini saja bisa membuatmu menyerah dan jauh dari Alloh. Kira-kira ketika
kamu hidup pada zaman nabi, apa kamu bisa menjadi salah seorang shahabiyah?
Ataukah kamu adalah salah seorang musuh dari islam?
Akupun tersadar setelah melakukan dialog dengan diriku
sendiri, segera aku ambil air wudhu dan sholat. Dalam sholat kubaca Surah
An-Nashr “innama’al ‘usri yusro..fainnama’al ‘usri yusro” rasanya keyakinan
akan pertolongan Alloh semakin dekat itu begitu kuat. Ya, pertolongan itu akan
datang fikirku.
Sampai hari ketiga, keadaan di rumah masih tetap sama. Ibu
juga nenekku masih memboikotku. Aku masih saja berada dalam kamar sambil
memikirkan cara untuk meminta izin kembali ke bapak. Tiba-tiba teringat akan
cerita salah seorang kakak. Ketika dia ingin mengutarakan keinginannya memakai
cadar kepada orangtuanya, “dek, dulu waktu ana ingin bercadar, orangtua
melarang. Namun karena kayakinan yang mantap untuk menutup aurat secara
sempurna, akhirnya kutempuh berbagai cara meyakinkan bapak. Dan cara yang
kupilih adalah mengirimkan surat ke beliau dengan kalimat yang syahdu, “wahai
ayahku. Kutulis surat ini, bla..bla..bla. (Afwan, lupa isi suratnya.)”
Hemmm. Tiba-tiba cara yang ditempuh sang kakak tadi,
terlintas di dalam pikiranku. Tapi bukan melalui surat, hanya sms yang bisa
kukirimkan kepada bapakku untuk menjelaskan kenapa aku ingin bercadar.

Sms yang kukirm begitu panjang, 1 sms sampai 7 layar dan aku
mengirimkan sebanyak 3 kali sms. Jadi kalau mau dihitung. Kira-kira aku
mengirim sebanyak 21 sms ke bapak.
Beberapa saat setelah kukirimkan sms ke bapak, tiba-tiba ada
sms yang masuk ke hp-ku, tapi belum berani kubuka isinya. Sampai akhirnya hpku
berdering, ketika kulihat nama yang memanggil ternyata adalah bapakku. Sambil
deg-degan kuangkat telpon bapakku, dan siap menerima omelan dari bapak lagi
karena kelancanganku untuk meminta izin memakai cadar.
Aku : “Assalamu’alaikum.”
Bapak: “Wa’alaikumsalam, lagi dimana nak???”
Aku: “Di rumah pak. Lagi di kamar.”
Bapak: “Kamu masih nangis??”
Aku: “I..i..iya pak. (Sambil menghapus airmata.)
Bapak: “Bapak dah terima sms dari kamu. Kamu beneran mau
pakai cadar???
“Aku: “I..i..iyya pak..”
Bapak: “Ya udah…kalau mau pakai cadar, pakai cadar saja.
Asal hati harus lembut ya nak…
“Aku: “Hah??” (Dalam keadaan yang masih belum percaya, tiba2
sikap bapak berubah 180 derajat.) Beneran pak??”
Bapak: “Iya nak… mana mamamu? Bapak mau bicara.”
Akhirnya bapak bicara ke ibu, dan dari percakapannya ibu
mengatakan kalau bapak mengizinkan aku pakai cadar. Ibu dilarang untuk
melarangku bercadar. Masih belum percaya dengan keputusan bapak, akupun membaca
sms yang dikirimkan bapak kepadaku sesaat sebelum beliau menelponku, “ya udah
kalau kamu mau pakai cadar bapak izinkan, ingat ya, hati harus lembut..janji
ya..” Alhamdulillah, bapak benar-benar mengizinkanku.
Dan akhirnya. Bismillah. Tepat tanggal 5 Ramadhan, aku pun
keluar dari rumah pertama kali dengan menggunakan cadar yang menutupi wajahku.
Tak henti-hentinya aku mengucapkan syukur di atas angkot dan airmata terus saja
mengalir karena akhirnya pertolongan Alloh datang juga setelah 3 hari diriku
harus menangis di kamar tanpa henti. Diboikot oleh orang tua sendiri. Yaa,
akhirnya akupun memakainya. Semoga pakaian ini akan terus kukenakan hingga ajal
menjemput. Amin, Allohumma amin. “yaa muqallibal qulub tsabbit qalbi ‘ala
diinik.“
Seperti yang dikisahkan seorang akhwat
Post a Comment